Pembelajaran matematika realistik (PMR) adalah sebuah pendekatan belajar
matematika yang dikembangkan sejak tahun 1971 oleh sekelompok ahli matematika
dari Freudenthal Institute, Utrecht University di Negeri Belanda.
Pendekatan ini didasarkan pada anggapan Hans Freudenthal (1905 – 1990) bahwa
matematika adalah kegiatan manusia. Menurut pendekatan ini, kelas matematika
bukan tempat memindahkan matematika dari guru kepada siswa, melainkan tempat
siswa menemukan kembali ide dan konsep matematika melalui eksplorasi
masalah-masalah nyata.
Pembelajaran dengan menggunakan pendekatan matematika realistik merupakan
salah satu alternatif dari sekian banyak pendekatan pembelajaran matematika
yang digunakan. Pendekatan matematika realistik mengunakan masalah sehari-hari
sebagai sumber inspirasi pembentukan konsep dan mengaplikasikan konsep tersebut
ke dalam kehidupan sehari-hari. Pada dasarnya pendekatan matematika realistik
membimbing siswa “menemukan kembali” konsep-konsep matematika yang pernah
ditemukan oleh para ahli matematika atau bila memungkinkan siswa dapat
menemukan hal yang sama sekali belum pernah ditemukan. Hal semacam ini dikenal
dengan guided reinvention.
Pendidikan matematika realistik atau Realistic
Mathematics Education (RME) diketahui sebagai pendekatan yang telah
berhasil di Belanda. Siswa yang menggunakan pendekatan realistik mempunyai
prestasi matematika yang tinggi (TIMSS, 1999). Salah satu filosofi yang
mendasari pendekatan matematika realistik adalah bahwa matematika bukanlah satu
kumpulan aturan atau sifat-sifat yang lengkap yang harus dipelajari siswa.
Menurut Freudenthal (1991) menyatakan bahwa matematika bukan merupakan suatu
objek yang siap saji untuk siswa, melainkan suatu pelajaran yang dinamis yang
dapat dipelajari dengan mengerjakannya.
Dalam kerangka Realistic
Mathematics Education, Freudenthal (1991) menyatakan bahwa “Mathematics is human activity”,
karena pembelajaran matematika
disarankan berangkat dari aktivitas manusia. Matematika sebagai aktivitas
manusia maksudnya, manusia perlu diberi
kesempatan untuk menemukan kembali ide dan konsep matematika dengan bimbingan
orang dewasa (Gravemeijer, 1994). Menurut Gravemeijer (1994), ada tiga prinsip
utama yang perlu diperhatikan dalam merancang pembelajaran yang berbasis RME yaitu: (1) penemuan kembali
terbimbing dan matematisasi progresif, (2) fenomena didaktik, dan (3)
mengembangkan model-model sendiri.
Dengan menggunakan prinsip penemuan terbimbing dan matematisasi
progresif, siswa diberikan kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengalami
sendiri proses penemuan matematika. Prinsip ini dapat memberikan inspirasi yang
menerapkan prosedur pemecahan masalah informal, dimana melalui matematisasi,
siswa harus diberi kesempatan untuk melakukan proses penemuan kembali (reinvention) konsep-konsep matematika
yang telah dipelajarinya.
Dengan prinsip fenomena didaktik bahwa belajar harus dimulai dari suatu
masalah kontekstual yang pada akhirnya memunculkan konsep matematika yang
dipelajari harus digunakan, strategi-strategi informal yang dikemukakan siswa
akan bervariasi, dan dengan demikian strategi-strategi informal yang diberikan
oleh guru tidak sama dengan yang dikemukakan siswa, berarti akan ada
peningkatan pengetahuan bagi siswa. Seorang guru matematika harus mampu
mengakomodasi strategi-strategi informal yang dikemukakan oleh siswa dan
dipergunakan sebagai alat untuk menuju pengetahuan matematika formal.
Prinsip mengembangkan model-model yang diciptakan sendiri oleh siswa dari
yang konkrit menuju situasi abstrak, atau dari pengetahuan matematika informal
ke bentuk pengetahuan matematika formal. Melalui matematisasi horizontal, model
tentang masalah berubah menjadi model untuk pengetahuan matematika informal,
dan melalui matematisasi vertikal berubah menjadi model pengetahuan matematika
formal. de Lange (1987) menyebutkan istilah matematisasi horizontal sebagai
matematika informal dan matematisasi vertikal sebagai matematika formal.
Menurut Turmudi (2001) beberapa kegiatan dalam matematisasi horizontal,
sebagai berikut:
- Pengidentifikasian matematika khusus dalam konteks umum;
- Penskemaan;
- Perumusan dan pemvisualan masalah dalam cara yang berbeda;
- Penemuan relasi (hubungan);
- Penemuan keteraturan;
- Pengenalan aspek isomorfic dalam masalah-masalah yang berbeda;
- Pentransferan real world problem ke dalam mathematical problem; dan
- Pentransferan real world problem ke dalam suatu model matematika yang diketahui.
Sedangkan beberapa kegiatan
matematisasi vertikal menurut Turmudi (2001) sebagai berikut:
- Menyatakan suatu hubungan dalam suatu rumus;
- Pembuktian keteraturan;
- Perbaikan dan penyesuaian model;
- Penggunaan model-model yang berbeda;
- Pengkombinasian dan pengintegrasian model-model;
- Perumusan suatu konsep matematika baru; dan
- Penggeneralisasian.
Ketiga prinsip tersebut dioperasikan ke dalam lima karakteristik dasar
dari RME (Gravemeijer, 1994) sebagai
berikut: (1) menggunakan masalah kontekstual, (2) menggunakan model, (3)
menggunakan kontribusi siswa, (4) interaktivitas, dan (5) terintegrasi dengan
topik pembelajaran lainnya.
Konteks disampaikan dapat berbentuk sebagai masalah nyata dalam kehidupan
sehari-hari maupun hal-hal yang dapat dipikirkan oleh siswa. Menurut Bron
(Haji, 2005: 36), konteks dalam pembelajaran matematika tidak harus berupa situasi
nyata namun dapat pula berbentuk fantasi (bare
mathematical problem). Menurut Gravemeijer dan Doorman (Sabandar, 2001),
masalah kontekstual adalah masalah yang dapat menghadirkan kondisi yang
realistik bagi siswa. Ciri-ciri konteks dalam RME sebagai berikut:
a. Dapat
dibayangkan dengan mudah, dapat dikenal dan situasinya menarik;
b. Berhubungan
dengan dunia siswa;
c. Tidak
terpisah dari proses pemecahan masalah; dan
d. Dimulai
dengan pengetahuan informal siswa dan terorganisasi secara matematis
(Figueiredo, 1999).
Masalah kontekstual yang disajikan dalam pembelajaran akan memunculkan
suatu konsep matematika. Sebelum konsep matematika ditemukan, siswa dengan
kemampuan pemecahan masalah matematiknya membuat strategi-strategi informal dan
menciptakan model-model sendiri. Dengan kata lain siswa melakukan kegiatan
matematika horizontal.
Model menurut Susanta dan Soedijono (1989) adalah gambaran (perwakilan)
suatu obyek yang disusun dengan tujuan tertentu. Model merupakan representasi
dari suatu masalah berfungsi sebagai jembatan dalam kegiatan matematika
vertikal. Kegiatan matematika vertikal merupakan kegiatan siswa dalam
merumuskan suatu konsep matematika atau membuat generalisasi. Konsep matematika
yang ditemukan merupakan kontribusi siswa.
Kontribusi siswa dapat melalui kegiatan kontruksi, refleksi, antisipasi
maupun integrasi dalam pembelajaran matematika. Menurut Sabandar (2001)
refleksi merupakan suatu upaya atau suatu aktifitas yang memberikan peluang
kepada siswa untuk mengungkapkan tentang apa yang sudah dan sedang
dikerjakannya. Interaksi antar siswa maupun antara siswa dengan guru dapat
berbentuk negosiasi, interpretasi, diskusi, kerjasama, dan evaluasi antar siswa
maupun antara siswa dengan guru. Dalam diskusi siswa memberikan argumen dan
interpretasinya terhadap model-model yang mereka ciptakan, sehingga tercipta
interaktif diantara siswa. Dengan demikian siswa belajar berRepresentasi dalam
bentuk lisan.
Diakhir pembelajaran guru dan siswa membuat suatu kesimpulan tetang
keterkaitan antar topik dalam matematika maupun antara topik matematika dengan
topik lain diluar matematika yang dapat memudahkan siswa dalam memahami suatu
konsep.
Rambu-rambu penerapan prinsip-prinsip pembelajaran dengan pendekatan
matematika realistik, adalah sebagai berikut:
- Bagaimana “guru” menyampaikan matematika kontekstual sebagai starting point pembelajaran ?
- Bagaimana “guru” menstimulasi, membimbing, dan memfasilitasi agar prosedur, algoritma, symbol, skema dan model yang dibuat oleh siswa mengarahkan mereka untuk sampai kepada matematika formal ?
- Bagaimana “guru” memberi atau mengarahkan kelas, kelompok, maupun individu untuk menciptakan free production, menciptakan caranya sendiri dalam menyelesaikan soal atau menginterpretasikan problem kontekstual, sehingga tercipta berbagai macam pendekatan, atau metode penyelesaian, atau algoritma ?
- Bagaimana “guru” membuat kelas bekerja secara interaktif sehingga interaksi diantara mereka anatara siswa dengan siswa dalam kelompok kecil, dan antara anggota-anggota kelompok dalam presentasi umum, serta antara siswa dengan guru ?
Bagaiman “guru” membuat jalinan antara topik dengan topik lain, antara
konsep dengan konsep lain, dan antara satu simbol dengan simbol lain di dalam
rangkaian topik matematika ? (Suherman, et
al, 2003).
Karena itu, siswa tidak dipandang sebagai penerima pasif, tetapi harus
diberi kesempatan untuk menemukan kembali ide dan konsep matematika di bawah
bimbingan guru. Proses penemuan kembali ini dikembangkan melalui penjelajahan
berbagai persoalan dunia nyata. Di sini dunia nyata diartikan sebagai segala
sesuatu yang berada di luar matematika, seperti kehidupan sehari-hari,
lingkungan sekitar, bahkan mata pelajaran lain pun dapat dianggap sebagai dunia
nyata. Dunia nyata digunakan sebagai titik awal pembelajaran matematika. Untuk
menekankan bahwa proses lebih penting daripada hasil, dalam pendekatan
matematika realistik digunakan istilah matematisasi, yaitu proses mematematikakan
dunia nyata (Sudharta, 2004).
Di Indonesia, Pembelajaran
Matematika Realistik (PMR)
disebut Pembelajaran Matematika Realistik (PMR) (Turmudi, 2000; Ruseffendi,
2001; Suwarsono, 2001) atau Pembelajaran Matematika Realistik Indonesia (PMRI)
(Hadi, 2001; Fauzan, 2001; Sembiring, 2001). Pendekatan ini dipandang sebagai
pendekatan yang banyak memberikan harapan bagi peningkatan hasil pembelajaran
matematika.
Zulkardi (2001),
mendefinisikan pembelajaran matematika realsitik sebagai berikut:
PMR adalah teori pembelajaran yang bertitik tolak dari
hal-hal ’real’ bagi siswa, menekankan ketrampilan ’process of doing
mathematics’, berdiskusi dan berkolaborasi, berargumentasi dengan teman
sekelas sehingga mereka dapat menemukan sendiri (’student inventing’ sebagai
kebalikan dari ’teacher telling’) dan pada akhirnya menggunakann
matematika itu untuk menyelesaikan masalah baik individual maupun kelompok.
PMR berdasarkan ide bahwa mathematics as human activity dan
mathematics must be connected to reality, sehingga pembelajaran
matematika diharapkan bertolak dari masalah-masalah kontekstual. Teori ini
telah diadopsi dan diadaptasi oleh banyak negara maju seperti Inggris,
Jerman, Denmark, Spanyol, Portugal, Afrika Selatan, Brazil, USA dan Jepang.
Salah satu hasil positif yang dipcapai oleh Belanda dan negara-negara tersebut
bahwa prestasi siswa meningkat, baik secara nasional maupun internasional.
Dua pandangan penting Freudenthal
(2002) tentang PMR adalah:
a. mathematics
as human activity, sehingga siswa harus diberi kesempatan untuk belajar
melakukan aktivitas matematisasi pada semua topik dalam matematika,dan
b. mathematics
must be connected to reality, sehingga matematika harus dekat terhadap
siswa dan harus dikaitkan dengan situasi kehidupan sehari-hari.
Konsep PMR sejalan dengan kebutuhan untuk memperbaiki pendidikan
matematika di Indonesia yang didominasi oleh persoalan bagaimana meningkatkan
pemahaman siswa tentang matematika dan mengembangkan daya nalar. PMR mempunyai
konsepsi tentang siswa sebagai berikut :
a.
Siswa memiliki seperangkat konsep laternatif tentang
ide-ide matematika yang mempengaruhi belajar selanjutnya;
b.
Siswa memperoleh pengetahuan baru dengan membentuk
pengetahuan itu untuk dirinya sendiri;
c.
Pembentukan pengetahuan merupakan proses perubahan yang
meliputi penambahan, kreasi, modifikasi,penghalusan, penyusunan kembali, dan
penolakan;
d.
Pengetahuan baru yang dibangun oleh siswa untuk dirinya
sendiri berasal dari seperangkat ragam pengalaman; setiap siswa tanpa memandang
ras, budaya dan jenis kelamin mampu memahami dan mengerjakan matematika.
Konsepsi tentang guru sebagai
berikut:
a.
Guru hanya sebagai fasilitator belajar;
b.
Guru harus mampu membangun pengajaran yang interaktif;
c.
Guru harus memberikan kesempatan kepada siswa untuk
secara aktif menyumbang pada proses belajar dirinya, dan secara aktif membantu
siswa dalam menafsirkan persoalan riil;
d.
Guru tidak terpancang pada materi yang termaktub dalam
kurikulum, melainkan aktif mengaitkan kurikulum dengan dunia-riil, baik fisik
maupun sosial.
1. Karakteristik Pembelajaran Matematika Realistik
Karakteristik PMR adalah
menggunakan konteks ‘dunia nyata’ ,model-model, produksi dan konstruksi siswa,
interaktif dan keterkaitan (intertwinment) (Treeffers dalam Sudharta, 2004).
a.
Menggunakan konteks
‘dunia nyata’
Gambar berikut menunjukan
dua proses matematisasi yang berupa siklus di mana ‘dunia nyata’ tidak hanya sebagai
sumber matematisasi, tetapi juga sebagai tempat untuk mengaplikasikan kembali
matematika.
Gambar 1. Konsep
Matematisasi (De Lange dalam Sudharta, 2004).
Dalam PMR, pembelajaran
diawali dengan masalah konstekstual (‘dunia nyata’), sehingga memungkinkan
mereka menggunakan pengalaman sebelumnya secara langsung. Proses penyaringan
(inti) dari konsep yang sesuai dari situasi nyata dinyatakan oleh De Lange
(dalam Sudharta, 2004) sebagai matematisasi konseptual.
b.
Menggunakan model-model (matematisasi)
Istilah model berkaitan
dengan model situasi dan model matematik yang dikembangkan oleh siswa sendiri (self
developed models). Peran self developed models merupakan jembatan
bagi siswa dari situasi real ke situasi abstrak atau dari matematika informal
ke matematika formal. Artinya siswa membuat model sendiri dalam menyelesaikan
masalah. Pertama adalah model situasi yang dekat dengan dunia nyata siswa.
Generalisasi dan Formalisasi model tersebut akan berubah menjadi model-of
masalah tersebut. Melalui pemecahan masalah matematik matematika model-of akan
bergeser menjadi model-for masalah yang sejenis. Pada akhirnya, akan menjadi
model matematik formal.
c.
Menggunakan produksi dan konstruksi
Streefland (dalam
Sudharta, 2004) menekankan bahwa dengan pembuatan “produksi bebas” siswa
terdorong untuk melakukan refleksi pada bagian yang mereka anggap penting dalam
proses belajar. Strategi-strategi informal siswa yang berupa prosedur pemecahan
masalah kontekstual merupakan sumber inspirasi dalam pengembangan pembelajaran
lebih lanjut yaitu untuk mengkonstruksi pengetahuan matematika formal.
d.
Menggunakan Interaktif
Interaksi antar siswa
dengan guru merupakan hal yang mendasar dalam PMR. Secara eksplisit
bentuk-bentuk interaksi yang berupa negosiasi, penjelasan, pembenaran, setuju,
tidak setuju, pertanyaan atau refleksi digunakan untuk mencapai bentuk formal
dari bentuk-bentuk informal siswa.
e.
Menggunakan Keterkaitan (intertwinment)
Dalam PMR pengintegrasian
unit-unit matematika adalah esensial jika dalam pembelajaran kita mengabaikan
keterkaitan dengan bidang yang lain, maka akan berpengaruh pada pemecahan
masalah. Dalam mengaplikasikan matematika, biasanya diperlukan pengetahuan yang
lebih kompleks, dan tidak hanya aritmatika, aljabar atau geometri tetapi juga
bidang lain.
Penerapan kelima prinsip
tersebut akan dilihat pada aktivitas yang dilakukan oleh guru maupun siswa. Penerapan masing-masing
prinsip oleh guru dalam pembelajaran sebagai berikut. Prinsip pertama akan
dilihat apakah guru memulai pelajaran dengan memberi contoh dalam kehidupan
sehari-hari dan memberi soal-soal pemecahan masalah yang sering terjadi dalam
kehidupan siswa. Prinsip kedua, apakah guru menggunakan alat peraga yang
membantu siswa menemukan rumus dan membimbing siswa menggunakannya. Prinsip ketiga,
apakah guru memberi waktu kepada siswa untuk membuat pemodelan sendiri dalam
mencari penyelesaian formal. Prinsip keempat, apakah guru memberi pertanyaan
lisan ketika kegiatan belajar mengajar berlangsung dan memberi penjelasan
tentang materi dan penemuan siswa. Prinsip kelima, apakah guru memberi pertanyaan yang
berkaitan dengan materi lain dalam mata pelajaran matematika atau materi mata
pelajaran lain.
Penerapan kelima prinsip
pada aktivitas siswa dalam pembelajaran sebagai berikut. Prinsip pertama akan
dilihat apakah siswa dapat menyebutkan aplikasi pengetahuan yang diperoleh
dalam kehidupan nyata. Prinsip kedua, apakah siswa melakukan pemodelan untuk
menemukan penyelesaian dari soal-soal. Prinsip ketiga, apakah siswa membuat
pemodelan sendiri dalam mencari penyelesaian formal dan menemukan sendiri
(mengkonstruksi) penyelesaian secara formal. Prinsip keempat, apakah siswa
merespon aktif pertanyaan lisan dari guru dan berdiskusi dengan siswa yang
lain. Prinsip
kelima, apakah siswa menghubungkan materi yang sedang dipelajari dengan materi
lain dalam matematika dan pengetahuan dari mata pelajaran yang lain.
Dengan mencermati prinsip
pembelajaran PMR, pengertian PMR dibatasi penentuan masalah kontekstual dan
lingkungan yang pernah dialami siswa dalam kehidupan sehari-hari agar siswa
mudah memahami pelajaran matematika sehingga mudah mencapai tujuan.
Prinsip utama dalam PMR
adalah sebagai berikut (Gravemeijer, 1994:90):
1.
Guided Reinvention dan progressive mathematization
Melalui
topik-topik yang disajikan siswa harus diberi kesempatan untuk mengalami
sendiri yang sama sebagaimana konsep matematika ditemukan.
2.
Didactial phenomenology
Topik-topik matematika disajikan atas dua pertimbangan yaitu aplikasinya
serta konstribusinya untuk pengembangan konsep-konsep matematika selanjutnya.
3.
Self
developed models
Peran Self developed models
merupakan jembatan bagi siswa dari situasi real ke situasi konkrit atau dari
matematika informal ke bentuk formal, artinya siswa membuat sendiri dalam
menyelesaikan masalah.
2. Langkah-langkah Pembelajaran Matematika Realistik
Meninjau karakteristik interaktif dalam pembelajaran
matematika realistik di atas tampak perlu sebuah rancangan pembelajaran yang
mampu membangun interaksi antara siswa dengan siswa, siswa dengan guru, atau
siswa dengan lingkungannya. Dalam hal ini, Asikin (2001: 3) berpandangan
perlunya guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengRepresentasikan
ide-idenya melalui presentasi individu, kerja kelompok, diskusi kelompok, maupun
diskusi kelas. Negosiasi dan evaluasi sesama siswa dan juga dengan guru adalah
faktor belajar yang penting dalam pembelajaran konstruktif ini.
Implikasi dari adanya aspek sosial yang cukup tinggi
dalam aktivitas belajar siswa tersebut maka guru perlu menentukan metode
mengajar yang tepat dan sesuai dengan kebutuhan tersebut. Salah satu metode
mengajar yang dapat memenuhi tujuan tersebut adalah memasukkan kegiatan diskusi
dalam pembelajaran siswa. Aktivitas diskusi dipandang mampu mendorong dan melancarkan
interaksi antara anggota kelas. Menurut Kemp (1994: 169) diskusi adalah bentuk
pengajaran tatap muka yang paling umum digunakan untuk saling tukar informasi,
pikiran dan pendapat. Lebih dari itu dalam sebuah diskusi proses belajar yang
berlangsung tidak hanya kegiatan yang bersifat mengingat informasi belaka,
namun juga memungkinkan proses berfikir secara analisis, sintesis dan evaluasi.
Selanjutnya perlu pula ditentukan bentuk diskusi yang hendak dilaksanakan
dengan mempertimbangkan kondisi kelas yang ada.
Mendasarkan pada kondisi kelas seperti uraian di atas
serta beberapa karakteristik dan prinsip pembelajaran matematika realistik,
maka langkah-langkah pembelajaran yang dilaksanakan dalam penelitian ini
terdiri atas:
a. Memahami masalah kontekstual
Pada langkah ini guru menyajikan masalah kontekstual kepada siswa.
Selanjutnya guru meminta siswa untuk memahami masalah itu terlebih dahulu.
Karakteristik pembelajaran matematika realistik yang muncul pada langkah ini
adalah menggunakan konteks. Penggunaan konteks terlihat pada penyajian masalah
kontekstual sebagai titik tolak aktivitas pembelajaran siswa.
b. Menjelaskan masalah kontekstual
Langkah ini ditempuh saat siswa mengalami kesulitan memahami masalah
kontekstual. Pada langkah ini guru memberikan bantuan dengan memberi petunjuk
atau pertanyaan seperlunya yang dapat mengarahkan siswa untuk memahami masalah.
Karakteristik pembelajaran matematika realistik yang muncul pada langkah ini
adalah interaktif, yaitu terjadinya interaksi antara guru dengan siswa maupun
antara siswa dengan siswa. Sedangkan prinsip guided reinvention setidaknya telah muncul ketika guru mencoba
memberi arah kepada siswa dalam memahami masalah.
c. Menyelesaikan masalah kontekstual
Pada tahap ini siswa didorong menyelesaikan masalah kontekstual secara
individual berdasar kemampuannya dengan memanfaatkan petunjuk-petunjuk yang
telah disediakan. Siswa mempunyai kebebasan menggunakan caranya sendiri. Dalam
proses memecahkan masalah, sesungguhnya siswa dipancing atau diarahkan untuk
berfikir menemukan atau mengkonstruksi pengetahuan untuk dirinya. Pada tahap
ini dimungkinkan bagi guru untuk memberikan bantuan seperlunya (scaffolding) kepada siswa yang
benar-benar memerlukan bantuan. Pada tahap ini, dua prinsip pembelajaran
matematika realistik yang dapat dimunculkan adalah guided reinvention and progressive mathematizing dan self-developed models. Sedangkan
karakteristik yang dapat dimunculkan adalah penggunaan model. Dalam
menyelesaikan masalah siswa mempunyai kebebasan membangun model atas masalah
tersebut.
d. Membandingkan dan mendiskusikan jawaban
Pada tahap ini guru mula-mula meminta siswa untuk membandingkan dan
mendiskusikan jawaban dengan pasangannya. Diskusi ini adalah wahana bagi
sepasang siswa mendiskusikan jawaban masing-masing. Dari diskusi ini diharapkan
muncul jawaban yang dapat disepakati oleh kedua siswa. Selanjutnya guru meminta
siswa untuk membandingkan dan mendiskusikan jawaban yang dimilikinya dalam
diskusi kelas. Pada tahap ini guru menunjuk atau memberikan kesempatan kepada
pasangan siswa untuk mengemukakan jawaban yang dimilikinya ke muka kelas dan
mendorong siswa yang lain untuk mencermati dan menanggapi jawaban yang muncul
di muka kelas. Karakteristik pembelajaran matematika realistik yang muncul pada
tahap ini adalah interaktif dan menggunakan kontribusi siswa. Interaksi dapat
terjadi antara siswa dengan siswa juga antara guru dengan siswa. Dalam diskusi
ini kontribusi siswa berguna dalam pemecahan masalah.
e. Menyimpulkan
Dari hasil diskusi kelas guru mengarahkan siswa untuk menarik kesimpulan
mengenai pemecahan masalah, konsep, prosedur atau prinsip yang telah dibangun
bersama. Pada tahap ini karakteristik pembelajaran matematika realistik yang
muncul adalah interaktif serta menggunakan kontribusi siswa.
Pada dasarnya pembelajaran
matematika realistik membimbing siswa untuk ”menemukan kembali”konsep-konsep
matematika yang pernah ditemukan oleh para ahli matematika atau bila
memungkinkan siswa dapat menemukan sama sekali hal yang bekum pernah ditemukan.
Ini dikenal sebagai guided reinvention
(Freudenthal, 1991).
Menurut Sudharta (2004), dalam
pembelaran matematika realistik, dibutuhkan upaya:
1. Penemuan kembali
terbimbing dan matematisasi progresif, artinya pembelajaran matematika
realistik harus diberikan kesempatan seluas-luasnya kepada siswa untuk
mengalami sendiri proses penemuan matematika.
2. Fenomena didaktik,
artinya pembentukan situasi dalam pemecahan masalah matematika realistik harus
menetapkan aspek aplikasi dan mempertimbangkan pengaruh proses dari
matematisasi progresif.
3. Mengembangkan model-model
sendiri, artinya pemecahan masalah matematika realistik harus mampu dijembatani
melalui pengembangan model-model yang diciptakan sendiri oleh siswa dari yang
konkrit menuju situasi abstrak, atau model yang diciptakan sendiri oleh siswa
untuk memecahkan masalah, dapat menciptakan kreasi dalam kepribadian siswa
melalui aktifitas di bawah bimbingan guru.
Langkah-langkah
pembelajaran matematika dengan PMR dapat digambarkan sebagai berikut (Sudharta,
2004):
Berdasarkan gambar
tersebut dapat dijelaskan bahwa pembelajaran matematika realistik diawali
dengan fenomena yang ada di dalam dunia nyata, kemudian siswa dengan bantuan
guru diberikan kesempatan menemukan kembali dan mengkonstruksi dalam model
matematika kemudian membuat jawaban atas model matematika tersebut.Setelah itu
diaplikasikan dalam masalah sehari-hari atau dalam bidang lain.
Dalam pembelajaran,
sebelum siswa masuk pada sistem formal, terlebih dahulu siswa dibawa ke
‘situasi informal’, misalnya pembelajaran pecahan dapat diawali dengan
pembagian menjadi bagian yang sama (misalnya pembagian kue) sehingga tidak
terjadi loncatan pengetahuan informal anak dengan konsep-konsep matematika
(pengetahuan matematika formal). Setelah siswa memahami pembagian menjadi
bagian yang sama, baru dikenalkan istilah pecahan. Ini sangat berbeda dengan
pembelajaran konvensional (bukan PMR) di mana siswa sejak awal sudah dicekoki
dengan istilah pecahan dan beberapa jenis pecahan.
Jadi, Pembelajaran
matematika realistik diawali dengan fenomena, kemudian siswa dengan bantuan
guru diberikan kesempatan menemukan kembali dan mengkonstruksi konsep sendiri.
Setelah itu, diaplikasikan dalam masalah sehari-hari atau dalam bidang lain.
Jika digambarkan dalam bagan, sebagai berikut:
No comments:
Post a Comment