Pages

Thursday, December 31, 2015

Pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL



Contextual Teaching and Learning merupakan konsep belajar yang mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan dunia nyata siswa. Hal ini di tegaskan oleh Blanchard (dalam Trianto, 2008:10)
“Contextual Teaching and Learning (CTL) merupakan suatu konsepsi yang membantu guru untuk menghubungkan konten materi ajar dengan situasi-situasi dunia nyata dan memotivasi siswa untuk membuat hubungan antara pengetahuan dan penerapannya ke dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga, warga negara, dan tenaga kerja. Dengan kata lain CTL adalah pembelajaran yang berhubungan erat dengan pengalaman sebenarnya”

Pendapat Blanchard senada dengan Sanjaya (2008:109) “CTL adalah suatu pendekatan pembelajaran yang menekankan kepada proses keterlibatan siswa secara penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi kehidupan nyata sehingga mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan mereka.”. Berikutnya Sanjaya (2008:110) mengemukakan :
“terdapat lima karakteristik penting dalam proses pembelajaran yang menggunakan pendekatan CTL
1.      Pembelajaran merupakan proses pengaktifan pengetahuan yang sudah ada (activiting knowledge), artinya apa yang akan dipelajari tidak terlepas dari pengetahuan yang sudah dipelajari, dengan demikian pengetahuan yang akan diperoleh siswa adalah pengetahuan pengetahuan yang utuh yang memiliki keterkaitan satu sama lain.
2.      Pembelajaran kontekstual adalah pembelajaran dalam rangka memperoleh dan menambah pengetahuan baru (acquiring knowledge). Pengetahuan baru tersebut diperoleh dengan cara deduktif, artinya pembelajaran dimulai dengan mempelajari secara keseluruhan, kemudian memperhatikan detailnya.
3.      Pemahaman pengetahuan (understanding knowledge), artinya pengetahuan yang diperoleh bukan sekedar untuk dihafal tetapi untuk dipahami dan diyakin, misalnya dengan cara meminta tanggapan dari yang lain tentang pengetahuan yang diperolehnya dan berdasarkan tanggapan tersebut baru pengetahuan itu dikembangkan.
4.      Mempraktikkan pengetahuan dan pengalaman tersebut (applying knowledge), artinya pengetahuan dan pengalaman  yang diperoleh harus diaplikasikan dalam kehidupan siswa, sehingga tampak perubahan prilaku siswa.
5.      Melakukan refleksi (reflecting knowledge) terhdap strategi pengembangan pengetahuan, hal ini dilakukan sebagai umpan balik untuk proses perbaikkan dan penyempurnaan strategi.”

Dengan siswa menghubungkan antara pengalaman mereka dan materi ajar yang sedang disampaikan oleh guru, maka secara tidak langsung mereka sudah berusaha membuat makna tersendiri tentang apa sebenarnya materi yang sedang diajarkan, semakin banyak siswa menemukan keterkaitan antara materi dengan pengalaman mereka maka semakin bermakna pula materi tersebut bagi mereka. Dengan demikian siswa telah melakukan pemaknaan  sendiri (constructivism), oleh karena itu construktivisme merupakan salah satu komponen dari Contextual Teaching and Learning. Trianto (2008:25) menyatakan “pendekatan CTL memiliki tujuh komponen utama yaitu konstruktivisme (constructivism), menemukan (Inquiry), bertanya (Questioning), masyarakat-belajar (Learning Community), pemodelan (modeling), refleksi (reflection), dan penilaian yang sebenarnya (Authentic).”

A. Kontruktivisme (Constructivism)
Menurut Abdul Hamid ( 2009:100) Kontruktivisme merupakan salah satu aliran filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita merupakan hasil kontruksi (bentukan) gambaran dari dunia menyataan yang ada. Pendapat ini jelas bahwa teori konstruktivisrme berkaitan erat dengan pembelajaran Contextual Teaching Learning (CTL). Hal ini diperjelas oleh Trianto (2008:26) Salah satu landasan teori pendidikan model termasuk CTL adalah terori pembelajaran konstruktivis. Alasan mengapa kontruktivisme merupakan landasan dari CTL karena menurut Trianto pendekatan ini pada dasarnya menekankan pentingnya siswa membangun sendiri pengetahuan siswa melalui keterlibatan aktif proses belajar-mengajar. Proses belajar mengajar diwarnai student center daripada teacher center. Sebagian besar waktu proses belajar mengajar berlangsung dengan berbasis pada aktivitas siswa.”
Kemudian menurut Masnur Muslich (2008:44) mengemukakan :
”Konstruktivisme, komponen ini merupakan landasan filosofis (berpikir) pendekatan CTL. Pembelajaran yang berciri konstruktivisme menekankan terbangunya pemahaman sendiri secara aktif, kreatif, dan produktif berdasarkan pengetahuan dan pengetahuan terdahulu dan dari pengalaman belajar bermakna”
Dengan dibiasakan siswa memecahkan masalah yang erat kaitannya dengan kehidupan mereka maka pengetahuan mereka akan tumbuh kembang melalui pengalaman dan pemahaman mereka akan berkembang semakin dalam dan semakin kuat.
B. Menemukan (Inquiry)
Diharapkan pengetahuan dan keterampilan bukanlah sejumlah fakta dari kegiatan mengingat, tetapi merupakan hasil dari proses menemukan sendiri. Inila alasan Trianto mengemukakan penemuan (inquiry) merupakan bagian inti dari kegiatan berbasis kontekstual. Selanjutnya Masnur Muslich (2008:45) menngemukakan :
”komponen menemukan merupakan kegiatan inti CTL. Kegiatan ini diawali dari pengamatan terhadap fenomena, dilanjutkan dengan kegiatan-kegiatan bermakna untuk menghasilkan temuan yang diperoleh oleh siswa. Dengan demikian, pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa tidak dari hasil mengingat seperangkat fakta, tetapi hasil dari menemukan sendiri dari fakta yang dihadapinya.”
Inquiry juga mempunyai siklus. Menurut Trianto (2008:30) siklus inquiry terdiri dari : (1). Observasi (Observation), (2). Bertanya (Questioning), (3). Mengajukan dugaan (hypotesis), (4). Mengumpulkan data (Data Gathering), dan (5). Penyimpulan (Conelution). Kemudian dalam bukunya Sanjaya (2008:119) menyatakan secara umum proses inquiri dapat dilakukan melalui beberapa langkah, yaitu: (a). Merumuskan masalah, (b) mengajukan hipotesis, (c) mengumpulkan data, (d) menguji hipotesis berdasarkan data yang ditemukan, dan (e) membuat kesimpulan.
C. Bertanya (Questioning)
Seorang pembelajar yang ingin mengetui sesuatu bermula dari sebuah pertanyaan, sehingga pada dasarnya belajar adalah kegiatan bertanya dan menjawab pertanyaan tersebut sehingga terjadi perubahan tingkah laku. Perubahan yang dimaksud adalah keadaan pembelajar dari yang tidak tahu menjadi tahu. Sanjaya (2008:120) menyatakan bahwa Dalam proses pembelajaran melalui CTL, guru tidak menyampaikan informasi begitu saja. Akan tetapi memancing agar siswa dapat menemukan sendiri. Oleh sebab itu peran bertanya sangat penting, sebab melalui pertanyaan-pertanyaan guru dapat membimbing dan mengarahkan siswa untuk menemukan setiap materti yang dipelajarinya
Menurut Trianto (2008:31) dalam pembelajaran yang produktif kegiatan bertanya akan sangat berguna untuk:
  1. menggali informasi, baik administrasi maupun akademis
  2. mengecek pemahaman siswa
  3. membangkitkan respon kepada siswa
  4. mengetahui sejauh mana keingintahuan siswa
  5. mengetahui hal-hal yang sudah diketahui siswa
  6. memfokuskan perhatian siswa pada suatu yang dikehendaki guru
  7. membangkitkan pertanyaan yang lebih banyak lagi dari siswa; dan
  8. menyegarkan kembali pengetahuan siswa

Kemudian dampak positif dari sebuah pertanyaan yang baik, dikutip dalam Sanjaya (2008:157) :
“para ahli percaya, petanyaan yang baik, memiliki dampak positif terhadap siswa, diantaranya :
a.       dapat meningkatkan partisipasi siswa secara penuh dalam proses pembelajaran.
b.      dapat meningkatkan kemampuan berpikir siswa, sebab berpikir itu sendiri pada hakikatnya bertanya.
c.       dapat membangkitkan rasa ingin tahu siswa, serta menuntun siswa untuk menentukan jawaban.
d.      memusatkan siswa pada masalah yang dibahas”

Dalam setiap tahapan dan proses pembelajaran, kegiatan bertanya hampir selalu digunakan. Oleh karena itu kemampuan guru untuk mengembangkan teknik-teknik bertanya sangat diperlukan.

D. Masyarakat belajar (Learning Community)
Belajar secara kelompok lebih baik daripada belajar secara individu, Vygotsky (dalam Sanjaya, 2008:120) menyatakan bahwa pengetahuan dan pemahaman anak ditopang banyak komunikasi oleh orang lain. Suatu permasalahan tidak mungkin dapat dipecahkan sendirian, akan tetapi membutuhkan bantuan orang lain. Kerjasama saling memberi dan menerima sangat dibutuhkan untuk memecahkan suatu permasalahan.
Masyarakat belajar akan tercipta ketika terjadi kerjasama dengan orang lain. Siswa dibiasakan saling belajar dalam kelompok untuk berbagi pengetahuan. Hal ini diperjelas oleh Trianto (2008:33) bahwa masyarakat belajar tejadi apabila ada komunikasi dua arah. Akibatnya siswa yang lebih tahu akan menjadi lebih tahu dan siswa yang paham akan menjadi lebih paham, sehingga pembelajaran akan lebih efektif.
Kemudian dilanjutkan oleh Trianto (2008:32) mengemukakan dalam kelas CTL, guru disarankan melaksanakan pembelajaran dalam kelompok-kelompok belajar. Siswa dibagi dalam kelompok-kelompok yang anggotanya heterogen. Yang pandai mengajari yang lemah, yang tahu memberitahu yang belum tahu, yang cepat menangkap mendorong temannya yang lambat, yang mempunyai gagasan segera memberi usul dan seterusnya. kelompok siswa bisa sangat bervariasi bentuknya, baik keanggotaan, jumlah, bahkan dapat melibatkan siswa di kelas atas, atau guru melakukan kolaborasi yang mendatangkan seorang ahli di dalam kelas.

Dalam menerapkan komponen masayarakat belajar, seorang guru harus memperhatikan prinsip-prinsip dari masyarakat belajar. Masnur Muslich mengemukakan :
“prinsip-prinsip yang bisa diperhatikan guru ketika menerapkan pembelajaran yang berkonsentrasi pada komponen learning community.
·         pada dasarnya hasil belajar diperoleh dari kerja sama atau sharing dengan pihak lain.
·          Sharing terjadi apabila ada pihak yang saling memberi dan saling menerima informasi.
·         sharing terjadi apabila ada komunikasi dua atau multi arah.
·         masyarakat belajar terjadi apabila masing-masing pihak yang terlibat di dalamnya sadar bahawa pengetahuan, pengalaman dan keterampilan yang dimilikinya bermanfaat bagi yang lainnya.
·         yang terlibat dalam masyarakat belajar pada dasar menjadi sumber belajar.”

E. Pemodelan (modeling)
Menurut Sanjaya (2008:121) “pemodelan adalah proses pembelajaran dengan memperagakan sesuatu sebagai contoh yang dapat ditiru siswa”. Sehingga dengan adanya pemodelan ini pembelajar diharapkan tertatik dengan materi ajar yang sedang diajarkan. Abdul Hamid (2009:117) mengemukakan pada dasarnya, setiap bidang studi memiliki daya tarik tersendiri meskipun daya tarik ini amat tergantung pada karakteristik pembelajar, seperti bakat, minat kebutuhan serta kecendrungan-kecendrungan atau pilihan-pilihan perseorangan lainnya”
Dalam sebuah pembelajaran keterampilan memecahkan masalah volume balok misalnya, seorang guru bisa menyuruh salah satu siswa untuk memecahkan masalah dengan dibimbing oleh guru tersebut. Dalam hal ini berarti siswa juga bisa jadikan model pembelajaran. Trianto (2008:34) menegaskan dalam pembelajaran kontektual, guru bukan satu-satunya model. Pemodelan dapat dirancang dengan melibatkan siswa. Seorang bisa ditunjuk dijadikan untuk memodelkan sesuatu berdasarkan pengalaman yang diketahuinya. Hal tersebut senada dengan yang diungkapkan oleh Sanjaya (2008:121) proses pemodelan tidak terbatas dari guru saja, akan tetapi dapat juga guru memanfaatkan siswa yang dianggap memiliki kemampuan.
 Dengan model tingkah laku itu, siswa dapat mengamati dan menirukan apa yang diinginkan guru. Beberapa petunjuk yang perlu diperhatikan adalah:
  1. Guru menerapkan aspek-aspek penting dari tingkah laku yang akan dipertunjukkan sebagai model.
  2. Siswa yang dapat menirukan model yang telah dipertunjukkan hendaknya diberi nilai plus.
  3. Model harus diamati sebagai suatu pribadi yang lebih tinggi dari siswa sendiri, yang mempertunjukkan hal-hal yang lebih untuk ditiru oleh siswa lain.
  4. Jangan sampai tingkah laku model berbenturan dengan nilai-nilai keyakinan siswa sendiri.
  5. Modelling disajikan dalam bentuk teknik mengajar atau dalam keterampilan-keterampilan social.

F. Refleksi (Reflection)
Menurut Suyadi (2010:64) Refleksi adalah kegiatan untuk mengemukakan kembali apa yang telah dilakukan, dan Sanjaya (2008:122) mengemukakan bahwa Refleksi adalah proses pembelajaran yang telah dipelajari yang dilakukan dengan cara mengurutkan kembali kejadian-kejadian atau peristiwa pembelajaran yang telah dilaluinya. Kemudian Trianto (2008:35) menjelaskan :
“Refleksi merupakan cara berpikir atau respon tentang apa yang baru dipelajari atau berpikir kebelakang tentang apa yang sudah dilakukan dimasa lalu. Siswa mengendapkan apa yang baru dipelajarinya sebagai struktur yang baru, yang merupakan pengayaan atau revisi dari pengetahuan sebelumnya. Refleksi merupakan respon terhadap kejadian, aktivitas, atau pengetahuan yang baru diterima.”
Dengan demikian refleksi bertujuan untuk mengetahui apakah siswa mengerti atau tidak tentang apa yang diajarkan, dan mengetahui dimana kesulitan siswa, Sebaiknya guru melakukan refleksi agar pengetahuan siswa lebih ‘mantab’.

G. Penilaian  Autentik (Authentic Assessment)
Assessment berkaitan erat dengan evaluasi. Penilaian (assessment) menurut Cizek (dalam Anita Yus Dkk, 2010:112) bahawa assessment sebagai proses terencana untuk mengumpulkan dan mensintesa informasi yang relavan untuk maksud-maksud : 1) menemukan dan mendokumen kekuatan dan kelemahan siswa, 2) merencanakan dan mengembangkan pembelajaran, dan 3) mengevaluasi dan mengambil keputusan tentang anak.
Menurut Oemar Hamalik (2010:146) assessment  adalah serangkaian kegiatan yang dirancang untuk mengukur prestasi belajar (achievement) siswa sebagai hasil dari seuatu program instruksional. Kemudian Sanjaya (2008:122) mengemukakan bahwa Penilaian nyata (Authentic Assessment) adalah proses yang dilakukan guru untuk mengumpulkan informasi tentang perkembangan belajar yang dilakukan siswa. Penilaian ini diperlukan untuk mengetahui apakah siswa benar-benar belajar atau tidak, apakah pengalaman siswa memiliki pengaruh yang positif terhadap perkembangan baik intelektual maupun mental siswa.
Penilaian autentik menilai pengetahuan dan keterampilan (performance) yang diperoleh siswa. Penilaian tidak hanya guru, tetapi bisa juga teman lain atau orang lain. Menurut Trianto (2008:37)
“Karakteristik penilaian autentik:
1.      dilaksanakan selama dan sesudah proses pembelajaran;
2.      bisa digunakan untuk formatif maupun sumatif;
3.      yang diukur penampilan dan performansi, bukan mengingat fakta;
4.      berkesinambungan;
5.      terintegrasi;
6.      dapat digunakan sebagai feed back.”

No comments:

Post a Comment