Ibrahim dkk. (2000) mengemukakan beberapa tipe dari pembelajaran
kooperatif, yaitu Student Teams Achievement Division (STAD), Teams
Games Tournament (TGT), Jigsaw, Investigasi Kelompok, dan
pembelajaran kooperatif dengan pendekatan struktural.
STAD merupakan model pembelajaran kooperatif yang paling sederhana.
Kelompok terdiri dari dari 4-5 siswa dengan kemampuan heterogen. Dalam
pelaksanaannya, setiap siswa dalam kelompok mempelajari materi pelajaran, dan
dilanjutkan dengan saling membantu dan berdiskusi di antara anggota kelompok.
Setiap satu atau dua minggu siswa diberi kuis secara individual.
TGT merupakan model pembelajaran
kooperatif yang memberikan kesempatan kepada siswa dengan kemampuan akademik
yang sama, untuk bersaing secara sehat dalam sebuah turnamen akademik. Sebelum
mengikuti turnamen akademik, siswa diberi kesempatan untuk belajar dalam
kelompoknya.
Jigsaw merupakan model pembelajaran kooperatif yang
memberikan tanggung jawab pada setiap siswa dalam kelompok untuk mempelajari
pokok bahasan tertentu, dan dilanjutkan dengan berdiskusi dengan siswa dari
kelompok lain yang mempelajari pokok bahasan yang sama. Setelah itu, siswa
kembali ke kelompok asal untuk menjelaskan dan mendiskusikan kepada teman-teman
dalam kelompoknya.
Investigasi Kelompok merupakan model
pembelajaran kooperatif yang memberikan kesempatan kepada kelompok untuk terlibat
dalam menentukan pokok bahasan yang akan dipelajari dan dianalisis.
Selanjutnya, kelompok mempresentasikan hasil analisisnya ke seluruh kelas.
Pembelajaran kooperatif dengan
pendekatan struktural lebih menekankan pada penggunaan struktur tertentu yang
dirancang untuk mempengaruhi pola interaksi siswa. Salah satu struktur
yang terkenal adalah teknik think-pair-share yang dikenalkan oleh Frank
Lyman pada tahun 1981. Pada teknik ini, anggota kelompok terdiri dari dua
orang. Tahap pertama yang harus dilakukan yaitu think. Pada tahap ini siswa diberi kesempatan untuk
berpikir dan merespon pertanyaan atau masalah yang diberikan. Tahap kedua yaitu
pair, siswa diminta untuk mendiskusikan jawaban dengan pasangannya.
Kemudian tahap terakhir yaitu share, siswa berbagi jawaban dengan
seluruh kelas (Curry, 2005).
Pembelajaran kooperatif dengan
teknik Think-Pair-Square (TPS) merupakan modifikasi dari teknik think-pair-share,
dan dikembangkan oleh Spencer Kagan pada tahun 1993. Kagan (Maitland, 2001)
menyarankan penggunaan teknik TPS ini untuk meningkatkan kemampuan berpikir,
komunikasi, dan mendorong siswa untuk berbagi informasi dengan siswa lain.
Berbeda dengan
teknik think-pair-share, dalam teknik TPS guru membagi siswa dalam
kelompok heterogen yang beranggotakan empat orang. Sebagai kegiatan awal adalah
think atau tahap berpikir, yaitu sebelum bekerjasama dan berdiskusi
dengan kelompoknya, setiap siswa diberi kesempatan untuk membaca, memahami,
memikirkan kemungkinan jawaban, dan membuat catatan tentang hal-hal yang tidak
dipahami atau informasi yang berhubungan dengan tugas. Kegiatan ini bertujuan
agar setiap siswa dapat memberikan respon terhadap ide-ide yang terdapat pada
LKS, untuk kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa sendiri.
Setelah tahap think
selesai, dilanjutkan dengan pair, atau tahap berpasangan. Pada tahap
ini, siswa diminta untuk berpasangan dengan salah seorang teman dalam
kelompoknya untuk mendiskusikan kemungkinan jawaban atau hal-hal yang telah ditulis dalam catatan
pada waktu tahap think. Dengan berpasangan, partisipasi aktif siswa
dalam kelompok dapat lebih dioptimalisasikan sehingga kemampuan pemahaman dan
komunikasi matematis siswa dapat lebih ditingkatkan.
Pada saat
berpasangan, siswa akan belajar untuk mengerti bahwa setiap orang dapat memiliki
jawaban yang berbeda dengan alasannya sendiri. Siswa juga dapat mencoba semua kemungkinan
secara berbeda dengan pasangannya, dan menyaring kembali, kemudian
memformulasikan jawaban berdasarkan hasil diskusi. Dalam kegiatan ini, setiap
siswa akan menggunakan bahasa dan kata-kata mereka sendiri untuk menyampaikan
ide-ide matematikanya.
Setelah pasangan siswa berdiskusi,
kemudian pasangan ini bergabung dengan pasangan lain dalam kelompoknya untuk
membentuk kelompok berempat (square). Kedua pasangan ini mendiskusikan
tugas-tugas yang belum dapat diselesaikan atau hal-hal yang belum dipahami
ketika diskusi dengan pasangan, dan menetapkan hasil akhir jawaban kelompoknya.
Pada tahap ini, siswa saling memberikan ide atau informasi yang mereka ketahui
tentang soal yang diberikan untuk memperoleh kesepakatan dari penyelesaian soal
tersebut.
Dengan adanya tahap pair dan square,
terjadi lebih banyak diskusi sehingga dapat lebih meningkatkan dan
mengoptimalisasikan partisipasi aktif siswa dalam kelompok. Selain itu, siswa
juga akan memiliki lebih banyak kesempatan untuk berkontribusi dalam
kelompoknya, dan interaksi antara siswa juga menjadi lebih mudah (Lie, 2004).
Jadi, diharapkan tidak ada lagi siswa yang tidak aktif dalam kelompoknya.
Berkomunikasi dalam suatu diskusi,
baik pada saat tahap pair atau square, juga dapat meningkatkan
aktivitas belajar dan retensi siswa. Hal ini disebabkan ketika siswa diberi
kesempatan untuk “berkomunikasi dalam matematika” sekaligus mereka berpikir
bagaimana cara mengungkapkannya dalam tulisan. Siswa juga dapat belajar dari
orang lain dan belajar mengungkapkan ide dan pendapatnya sehingga dapat
diterima orang lain. Dengan kegiatan ini, kemampuan komunikasi matematis siswa
baik lisan atau tulisan dapat meningkat.
Ketrampilan berkomunikasi dalam
kelompok juga dapat mempercepat kemampuan siswa dalam mengungkapkan idenya
melalui tulisan dan dapat meningkatkan pemahaman. Pemahaman siswa akan lebih
baik dengan adanya pengalaman belajar dan partisipasi siswa dalam diskusi. Hal
ini dikarenakan ketika siswa diberi kesempatan untuk berbicara, sekaligus
mengkonstruksi berbagai ide untuk dikemukakan melalui percakapan, dan pada saat
menulis hasil diskusi, baik pada tahap pair maupun square, siswa
akan mengkonstruksi sendiri pengetahuannya yang memuat pemahaman dan komunikasi
matematis yang diungkapkannya melalui tulisan.
Setelah tahap think,
pair, dan square selesai, diadakan diskusi kelas. Kelompok dengan
jawaban benar tetapi memiliki cara penyelesaian yang berbeda, mempresentasikan
hasil kerja kelompoknya di depan kelas. Siswa atau kelompok lain diberi
kesempatan untuk menanggapi dan mengemukakan pendapatnya. Dengan kegiatan ini,
siswa dapat melihat bahwa solusi yang sama dapat dinyatakan dalam cara yang
berbeda, dan bagi kelompok atau siswa yang tidak dapat menyelesaikan tugasnya,
tidak akan tertinggal. Dengan demikian, melalui kegiatan ini siswa juga dapat
meningkatkan pemahamannya tentang suatu konsep dan melihat bagaimana cara
mengkomunikasikan matematika dengan benar.
Kelebihan-kelebihan
pembelajaran kooperatif dengan teknik TPS ini, diantaranya adalah :
1.
Merupakan teknik yang paling sederhana dalam
pembelajaran kooperatif dan mudah dilaksanakan dalam kelas, sehingga model
pembelajaran ini dapat dilakukan secara mendadak dan mudah digunakan dalam
kelas dengan jumlah siswa yang banyak (Instructional Strategies Online,
2005).
2.
Dengan anggota kelompok berempat, guru akan lebih mudah
memonitor dan mudah dipecah menjadi berpasangan, dan lebih banyak tugas yang
dapat dilakukan (Lie, 2004).
3.
Lebih banyak terjadi percakapan atau diskusi, baik pada
waktu berpasangan maupun dalam kelompok berempat, sehingga akan lebih banyak
ide muncul.
4. Optimalisasi partisipasi siswa dan
memberi kesempatan kepada siswa untuk dikenali dan menunjukkan partisipasi
mereka kepada orang lain.
5. Siswa diberi kesempatan untuk
berdiskusi dan berpasangan dengan siswa yang lebih pintar atau lemah, daripada
cara klasikal yang hanya satu orang atau beberapa orang saja yang berbicara.
6. Kegiatan guru dalam proses belajar
mengajar semakin berkurang. Guru hanya berperan sebagai fasilitator yang
mengarahkan dan memotivasi siswa untuk belajar mandiri serta menumbuhkan rasa
tanggung jawab.
Pembelajaran kooperatif dengan
teknik TPS ini juga memiliki kekurangan, yaitu membutuhkan pengaturan waktu dan
sosialisasi yang baik, serta dapat menyulitkan proses pengambilan suara (Lie,
2004). Untuk mengatasi kekurangan tersebut, maka hal-hal yang harus
diperhatikan adalah:
1. Guru
harus pandai mengatur waktu yang tersedia seefisien mungkin sesuai dengan tingkat
kesulitan materi.
2. Meminta siswa untuk terlebih dahulu
mempelajari materi di rumah.
3. Guru
harus dapat mensosialisasikan dengan baik tentang manfaat, tujuan, keuntungan
yang diperoleh, dan tahap-tahap yang harus dilalui, agar siswa memahami dan
tertarik untuk melakukan proses pembelajaran dengan teknik TPS ini.
Berdasarkan
uraian tentang kegiatan atau tahapan-tahapan yang harus dilalui siswa ketika
melaksanakan pembelajaran kooperatif dengan teknik TPS, langkah
pembelajarannya, dan kelebihan-kelebihannya, maka diharapkan bahwa pembelajaran
kooperatif dengan teknik think-pair-square dapat meningkatkan kemampuan
pemahaman dan komunikasi matematis siswa.
No comments:
Post a Comment