Pages

Tuesday, January 5, 2016

Pembelajaran Kooperatif dengan Teknik Think-Pair-Square (TPS)



 Ibrahim dkk. (2000) mengemukakan beberapa tipe dari pembelajaran kooperatif, yaitu Student Teams Achievement Division (STAD), Teams Games Tournament (TGT), Jigsaw, Investigasi Kelompok, dan pembelajaran kooperatif dengan pendekatan struktural.
 STAD merupakan model pembelajaran kooperatif yang paling sederhana. Kelompok terdiri dari dari 4-5 siswa dengan kemampuan heterogen. Dalam pelaksanaannya, setiap siswa dalam kelompok mempelajari materi pelajaran, dan dilanjutkan dengan saling membantu dan berdiskusi di antara anggota kelompok. Setiap satu atau dua minggu siswa diberi kuis secara individual.
TGT merupakan model pembelajaran kooperatif yang memberikan kesempatan kepada siswa dengan kemampuan akademik yang sama, untuk bersaing secara sehat dalam sebuah turnamen akademik. Sebelum mengikuti turnamen akademik, siswa diberi kesempatan untuk belajar dalam kelompoknya.
Jigsaw merupakan model pembelajaran kooperatif yang memberikan tanggung jawab pada setiap siswa dalam kelompok untuk mempelajari pokok bahasan tertentu, dan dilanjutkan dengan berdiskusi dengan siswa dari kelompok lain yang mempelajari pokok bahasan yang sama. Setelah itu, siswa kembali ke kelompok asal untuk menjelaskan dan mendiskusikan kepada teman-teman dalam kelompoknya.
Investigasi Kelompok merupakan model pembelajaran kooperatif yang memberikan kesempatan kepada kelompok untuk terlibat dalam menentukan pokok bahasan yang akan dipelajari dan dianalisis. Selanjutnya, kelompok mempresentasikan hasil analisisnya ke seluruh kelas.
Pembelajaran kooperatif dengan pendekatan struktural lebih menekankan pada penggunaan struktur tertentu yang dirancang untuk mempengaruhi pola interaksi siswa. Salah satu struktur yang terkenal adalah teknik think-pair-share yang dikenalkan oleh Frank Lyman pada tahun 1981. Pada teknik ini, anggota kelompok terdiri dari dua orang. Tahap pertama yang harus dilakukan yaitu think. Pada tahap ini siswa diberi kesempatan untuk berpikir dan merespon pertanyaan atau masalah yang diberikan. Tahap kedua yaitu pair, siswa diminta untuk mendiskusikan jawaban dengan pasangannya. Kemudian tahap terakhir yaitu share, siswa berbagi jawaban dengan seluruh kelas (Curry, 2005).
Pembelajaran kooperatif dengan teknik Think-Pair-Square (TPS) merupakan modifikasi dari teknik think-pair-share, dan dikembangkan oleh Spencer Kagan pada tahun 1993. Kagan (Maitland, 2001) menyarankan penggunaan teknik TPS ini untuk meningkatkan kemampuan berpikir, komunikasi, dan mendorong siswa untuk berbagi informasi dengan siswa lain.
Berbeda dengan teknik think-pair-share, dalam teknik TPS guru membagi siswa dalam kelompok heterogen yang beranggotakan empat orang. Sebagai kegiatan awal adalah think atau tahap berpikir, yaitu sebelum bekerjasama dan berdiskusi dengan kelompoknya, setiap siswa diberi kesempatan untuk membaca, memahami, memikirkan kemungkinan jawaban, dan membuat catatan tentang hal-hal yang tidak dipahami atau informasi yang berhubungan dengan tugas. Kegiatan ini bertujuan agar setiap siswa dapat memberikan respon terhadap ide-ide yang terdapat pada LKS, untuk kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa sendiri.
Setelah tahap think selesai, dilanjutkan dengan pair, atau tahap berpasangan. Pada tahap ini, siswa diminta untuk berpasangan dengan salah seorang teman dalam kelompoknya untuk mendiskusikan kemungkinan jawaban  atau hal-hal yang telah ditulis dalam catatan pada waktu tahap think. Dengan berpasangan, partisipasi aktif siswa dalam kelompok dapat lebih dioptimalisasikan sehingga kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis siswa dapat lebih ditingkatkan.
Pada saat berpasangan, siswa akan belajar untuk mengerti bahwa setiap orang dapat memiliki jawaban yang berbeda dengan alasannya sendiri. Siswa juga dapat mencoba semua kemungkinan secara berbeda dengan pasangannya, dan menyaring kembali, kemudian memformulasikan jawaban berdasarkan hasil diskusi. Dalam kegiatan ini, setiap siswa akan menggunakan bahasa dan kata-kata mereka sendiri untuk menyampaikan ide-ide matematikanya.
Setelah pasangan siswa berdiskusi, kemudian pasangan ini bergabung dengan pasangan lain dalam kelompoknya untuk membentuk kelompok berempat (square). Kedua pasangan ini mendiskusikan tugas-tugas yang belum dapat diselesaikan atau hal-hal yang belum dipahami ketika diskusi dengan pasangan, dan menetapkan hasil akhir jawaban kelompoknya. Pada tahap ini, siswa saling memberikan ide atau informasi yang mereka ketahui tentang soal yang diberikan untuk memperoleh kesepakatan dari penyelesaian soal tersebut.
Dengan adanya tahap pair dan square, terjadi lebih banyak diskusi sehingga dapat lebih meningkatkan dan mengoptimalisasikan partisipasi aktif siswa dalam kelompok. Selain itu, siswa juga akan memiliki lebih banyak kesempatan untuk berkontribusi dalam kelompoknya, dan interaksi antara siswa juga menjadi lebih mudah (Lie, 2004). Jadi, diharapkan tidak ada lagi siswa yang tidak aktif dalam kelompoknya.
Berkomunikasi dalam suatu diskusi, baik pada saat tahap pair atau square, juga dapat meningkatkan aktivitas belajar dan retensi siswa. Hal ini disebabkan ketika siswa diberi kesempatan untuk “berkomunikasi dalam matematika” sekaligus mereka berpikir bagaimana cara mengungkapkannya dalam tulisan. Siswa juga dapat belajar dari orang lain dan belajar mengungkapkan ide dan pendapatnya sehingga dapat diterima orang lain. Dengan kegiatan ini, kemampuan komunikasi matematis siswa baik lisan atau tulisan dapat meningkat.
Ketrampilan berkomunikasi dalam kelompok juga dapat mempercepat kemampuan siswa dalam mengungkapkan idenya melalui tulisan dan dapat meningkatkan pemahaman. Pemahaman siswa akan lebih baik dengan adanya pengalaman belajar dan partisipasi siswa dalam diskusi. Hal ini dikarenakan ketika siswa diberi kesempatan untuk berbicara, sekaligus mengkonstruksi berbagai ide untuk dikemukakan melalui percakapan, dan pada saat menulis hasil diskusi, baik pada tahap pair maupun square, siswa akan mengkonstruksi sendiri pengetahuannya yang memuat pemahaman dan komunikasi matematis yang diungkapkannya melalui tulisan.
Setelah tahap think, pair, dan square selesai, diadakan diskusi kelas. Kelompok dengan jawaban benar tetapi memiliki cara penyelesaian yang berbeda, mempresentasikan hasil kerja kelompoknya di depan kelas. Siswa atau kelompok lain diberi kesempatan untuk menanggapi dan mengemukakan pendapatnya. Dengan kegiatan ini, siswa dapat melihat bahwa solusi yang sama dapat dinyatakan dalam cara yang berbeda, dan bagi kelompok atau siswa yang tidak dapat menyelesaikan tugasnya, tidak akan tertinggal. Dengan demikian, melalui kegiatan ini siswa juga dapat meningkatkan pemahamannya tentang suatu konsep dan melihat bagaimana cara mengkomunikasikan matematika dengan benar.
            Kelebihan-kelebihan pembelajaran kooperatif dengan teknik TPS ini, diantaranya adalah :
1.      Merupakan teknik yang paling sederhana dalam pembelajaran kooperatif dan mudah dilaksanakan dalam kelas, sehingga model pembelajaran ini dapat dilakukan secara mendadak dan mudah digunakan dalam kelas dengan jumlah siswa yang banyak (Instructional Strategies Online, 2005).
2.      Dengan anggota kelompok berempat, guru akan lebih mudah memonitor dan mudah dipecah menjadi berpasangan, dan lebih banyak tugas yang dapat dilakukan (Lie, 2004).
3.      Lebih banyak terjadi percakapan atau diskusi, baik pada waktu berpasangan maupun dalam kelompok berempat, sehingga akan lebih banyak ide muncul.
4.      Optimalisasi partisipasi siswa dan memberi kesempatan kepada siswa untuk dikenali dan menunjukkan partisipasi mereka kepada orang lain.
5.      Siswa diberi kesempatan untuk berdiskusi dan berpasangan dengan siswa yang lebih pintar atau lemah, daripada cara klasikal yang hanya satu orang atau beberapa orang saja yang berbicara.
6.      Kegiatan guru dalam proses belajar mengajar semakin berkurang. Guru hanya berperan sebagai fasilitator yang mengarahkan dan memotivasi siswa untuk belajar mandiri serta menumbuhkan rasa tanggung jawab.
Pembelajaran kooperatif dengan teknik TPS ini juga memiliki kekurangan, yaitu membutuhkan pengaturan waktu dan sosialisasi yang baik, serta dapat menyulitkan proses pengambilan suara (Lie, 2004). Untuk mengatasi kekurangan tersebut, maka hal-hal yang harus diperhatikan adalah:
1.      Guru harus pandai mengatur waktu yang tersedia seefisien mungkin sesuai dengan tingkat kesulitan materi.
2.       Meminta siswa untuk terlebih dahulu mempelajari materi di rumah.
3.      Guru harus dapat mensosialisasikan dengan baik tentang manfaat, tujuan, keuntungan yang diperoleh, dan tahap-tahap yang harus dilalui, agar siswa memahami dan tertarik untuk melakukan proses pembelajaran dengan teknik TPS ini.
Berdasarkan uraian tentang kegiatan atau tahapan-tahapan yang harus dilalui siswa ketika melaksanakan pembelajaran kooperatif dengan teknik TPS, langkah pembelajarannya, dan kelebihan-kelebihannya, maka diharapkan bahwa pembelajaran kooperatif dengan teknik think-pair-square dapat meningkatkan kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis siswa.

No comments:

Post a Comment